AI Menggeser Pekerjaan? Inilah Keterampilan yang Dibutuhkan

Selasa, 12 Agustus 2025 | 17:04 WIB Sumber: Forbes
AI Menggeser Pekerjaan? Inilah Keterampilan yang Dibutuhkan

ILUSTRASI. AI Menggeser Pekerjaan? Inilah Keterampilan yang Dibutuhkan.


KONTAN.CO.ID -  Hampir 10.000 karyawan sektor teknologi di AS kehilangan pekerjaan pada Juli ini. Ironisnya, sebagian dari mereka justru membantu membangun teknologi Artificial Intelligence atau AI yang membuat pekerjaan mereka menjadi usang.

Melansir dari media ekonomi dan bisnis, Forbes, CEO Amazon, Andrew Jassey, mengonfirmasi tren ini dalam sebuah memo kepada karyawan pada Maret lalu. “Seiring kami meluncurkan lebih banyak Generative AI dan agen AI, hal ini akan mengubah cara kami bekerja,” katanya. 

“Kami memperkirakan hal ini akan mengurangi jumlah total tenaga kerja korporat karena kami mendapatkan efisiensi dari penggunaan AI secara luas di seluruh perusahaan.”

Baca Juga: Premi Asuransi Rumah Tertekan, Segmen Komersial dan Industri Jadi Andalan Pertumbuhan

Keterampilan yang dulu menjadi pembeda utama lulusan MBA, analisis data, optimalisasi proses, dan perencanaan strategis, kini dapat dilakukan mesin dengan lebih efisien, bahkan lebih efektif.

Perubahan ini mengguncang keyakinan lama bahwa kesuksesan berasal dari penguasaan model, kerangka kerja, dan wawasan kuantitatif.

Selama beberapa dekade, sekolah bisnis mengajarkan mahasiswa MBA untuk membuat proyeksi arus kas diskonto, menjalankan analisis regresi, dan mengoptimalkan rantai pasok, semua berdasarkan asumsi bahwa analisis yang lebih pintar berarti keputusan yang lebih baik.

Namun, ketika AI mengambil alih pekerjaan analisis, keterampilan bisnis baru menjadi penting, keterampilan yang tidak bisa dikodekan ke dalam algoritma atau diserahkan kepada model bahasa besar. Banyak di antaranya bahkan belum diajarkan di program MBA.

Keterampilan ini sangat dibutuhkan di era yang saling terhubung dan berbasis sistem, di mana semua analisis teknis tidak selalu menghasilkan jawaban yang “benar” atau bahkan “terbaik.” Inilah keterampilan yang dibutuhkan di dunia yang penuh ketidakpastian, ambiguitas, dan perubahan, bukan di dunia yang stabil.

Tiga kemampuan yang membangun keunggulan ini adalah: relasional, kognitif, dan perilaku. Kemampuan ini bukan hanya tahan terhadap AI, tetapi sepenuhnya dan secara unik bersifat manusiawi.

1. Mendengarkan Secara Mendalam dan Membangun Empati

Eksekutif sering didorong untuk berbicara lebih sering, jelas, dan tegas. Namun, fokus pada berbicara sering mengabaikan sesuatu yang lebih transformatif: kekuatan mendengarkan secara mendalam.

Dalam systems thinking, mendengarkan bukanlah tindakan pasif. Mendengarkan secara mendalam berarti aktif, menyimak apa yang diucapkan dan yang tidak diucapkan—untuk membangun hubungan yang lebih kuat dengan lawan bicara.

Mendengarkan mendalam adalah disiplin untuk hadir sepenuhnya bersama orang lain, menangguhkan penilaian, menyingkirkan gangguan, dan menahan diri untuk tidak langsung menyusun respons. Ini berarti memperhatikan nada suara, bahasa tubuh, dan arus emosional sama seperti kata-kata, memberi ruang bagi orang lain untuk mengungkapkan pikiran yang bahkan mungkin belum mereka pahami sepenuhnya.

Keterampilan ini juga berlaku di luar interaksi sosial, misalnya saat mengamati anak bermain atau duduk sendiri di alam. Dalam systems thinking, mendengarkan membantu membangun empati, kepercayaan, dan memahami dinamika hubungan yang tidak terlihat namun memengaruhi tindakan orang.

Baca Juga: Saham XLSmart Telecom Sejahtera (EXCL) Menguat Pasca RUPSLB, Cek Rekomendasinya

Penelitian di Journal of Business Psychology (2023) menunjukkan bahwa ketika pembicara merasa didengar, hubungan kerja dan kinerja mereka meningkat.

Reed Hastings, pendiri Netflix, mempraktikkan “deep listening” dengan mendorong manajer menyampaikan pendapat yang berbeda. Ia belajar dari kegagalan rebranding Qwickster tahun 2011 karena tidak mendengarkan masukan penting.

Ahli biologi laut Rachel Carson juga mencontohkan hal ini. Ia tidak hanya mempelajari data kimia, tetapi mendengarkan keheningan alam. Hilangnya kicau burung menjadi sinyal perubahan ekosistem. Temuannya di buku Silent Spring (1962) mendorong pembentukan EPA di AS.

Pendengar sistem sejati tidak hanya mendengar dengan telinga, tetapi juga “merasakan” dengan tubuh. Pemadam kebakaran, misalnya, tidak hanya melihat api, tetapi juga merasakannya. AI bisa memproses data, tetapi tidak bisa merasakan sinyal-sinyal lemah tersebut.

2. Berpikir Kritis dan Mengenali Pola

Eksekutif dan mahasiswa MBA menyukai kerangka kerja, rasio, dan matriks yang menyederhanakan masalah kompleks. Namun, alat ini sering menyembunyikan asumsi penting di balik jawaban yang dihasilkan. Di sinilah berpikir kritis menjadi penting.

Berpikir kritis berarti keluar dari pola pikir dan model yang biasa, mengajukan pertanyaan mendasar, serta menolak penyederhanaan berlebihan. AI mungkin lebih cepat mengenali pola, tetapi hanya manusia yang bisa menilai dan menafsirkan maknanya secara kritis.

Contohnya, saat krisis keuangan 2008, banyak analis gagal melihat risiko sistemik yang membesar. Michael Burry berhasil mengenalinya, bukan dari model standar, tetapi dari pola aneh: harga rumah naik, pinjaman longgar, dan investor yang lengah.

Menurut Erik Brynjolfsson dan Andrew McAfee (The Second Machine Age), manusia unggul dalam penalaran analogis—menghubungkan hal-hal yang tampak tidak terkait—yang penting dalam dunia kompleks. AI dapat menemukan pola di data masa lalu, tetapi manusia mampu membayangkan kemungkinan baru di tepi pengetahuan yang ada.

3. Merangkul Ketidakpastian dan Beradaptasi terhadap Perubahan

Pemimpin bisnis sering mencari kejelasan lewat tujuan yang jelas dan rencana langkah demi langkah. Namun, hal ini dapat membuat mereka takut akan ketidakpastian dan terlalu lama menunggu data sempurna, hingga peluang terlewat.

Merangkul ketidakpastian berarti nyaman membuat keputusan ketika kejelasan masih kabur. Dibutuhkan fleksibilitas psikologis untuk fokus pada tujuan jangka panjang sambil menyesuaikan diri dengan kondisi yang berubah.

Perilaku yang lahir dari sikap ini adalah adaptabilitas. Pemikir sistem tidak panik saat kondisi berubah. Mereka berhenti sejenak, berefleksi, bereksperimen, dan menyesuaikan langkah. Mereka berpegang pada nilai dan tujuan inti, tetapi tetap terbuka pada informasi baru yang relevan.

Reid Hoffman, pendiri LinkedIn, menyebut hal ini sebagai “permanent beta”, keyakinan bahwa tidak ada yang benar-benar selesai dan pemimpin harus selalu waspada terhadap perubahan permainan.

Tonton: IHSG Hari Ini Kembali Menguat, Selasa 12 Agustus 2025

Ketiga kemampuan ini membentuk paradigma kepemimpinan baru. Dahulu, keterampilan bisnis bertumpu pada analisis data yang kuat. Kini, AI mampu melakukannya dengan cepat.

Pemimpin bisnis perlu fokus pada kualitas manusia yang unik, terutama yang dibutuhkan dalam lingkungan yang kacau. Rasa ingin tahu, kepekaan, interpretasi, dan adaptasi menjadi lebih penting daripada sekadar logika dan data.

Lembaga terkemuka mulai menyadarinya. d.school Stanford menekankan desain berpusat pada manusia. MIT mengajarkan manajer memetakan keterkaitan dalam bisnis. Perusahaan seperti Unilever dan Google melatih pemimpin dalam kesadaran penuh (mindfulness) dan kecerdasan emosional, bukan hanya spreadsheet dan strategi.

Dalam era AI, pemimpin yang sukses bukan yang menganalisis lebih baik dari mesin, tetapi yang lebih peka dan mampu membangun jaringan relasi yang kuat.

Selanjutnya: Banyak Aturan Pajak Baru Berlaku pada 2025, Tapi Kas Negara Diramal Tetap Seret

Menarik Dibaca: Tengok Ramalan Zodiak Karier & Keuangan Besok Rabu 13 Agustus 2025

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tiyas Septiana

Terbaru